Rabu, Mei 15, 2013

Bagaimana Sih Kepercayaan Diri Bangsa dalam Habibie dan Ainun?


Tulisan ini sudah saya share sejak 3 bulan yang lalu di KOMPASIANA.  Mudah-mudahan meskipun sudah "basi", namun spirit dalam tulisan ini dapat diterima oleh Anda semuanya.

Apakah Anda sudah menonton film "Habibie dan Ainun"? Tanpa bermaksud promosi, saya menyarankan Anda (yang sudah dewasa) untuk menontonnya. Film ini tak hanya menceritakan romansa antara sepasang manusia yang mampu mempertahankan biduk rumah tangga selama 48 tahun 10 hari, tapi banyak pelajaran moral lain yang bisa dipetik.

Baiklah, saya tidak akan mengupas tuntas perjalanan cinta Habibie dan Ainun di film ini. Saya ingin berbagi adegan yang paling menggetarkan dan menginspirasi saya sehingga saya menuliskannya di media ini.

Adegan di hanggar pesawat PT DI (ketika itu masih IPTN) setelah laporan pertanggungjawaban Pak Habibie ditolak MPR dan Pak Habibie memutuskan untuk tidak mencalonkan diri menjadi presiden berikutnya. Ketika itu Pak Habibie ditemani Ibu Ainun mengunjungi hanggar pesawat N250, yang tampaknya sudah usang. Habibie menggerakkan baling-baling. Tangannya geram. Ia memeluk Ainun.

“Gara-gara ini, waktuku minim untukmu dan anak-anak,” kata Habibie.
“Bayangkan 17.000 pulau di Indonesia butuh alat transportasi cepat, murah.”

Dengan pesawat, perekonomian bangsa bisa maju. Tapi sayangnya, masyarakat Indonesia tidak percaya dengan kemampuan saudaranya sendiri.

Padahal menurut tulisannya Iwan Piliang di Kompasiana (http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2013/01/08/opini-habibie-ainun-serta-industri-diperkosa-523397.html) di Uni Emirate Arab pesawat produksi IPTN, yaitu  pesawat N-235  mereka cat putih dijadikan pesawat VVIP. Maka setiap Habibie ke Uni Emirat Arab, pastilah disambut sebagai bagian dari keluarga kerajaan yang harus dihormati sekali. Lain halnya di negaranya sendiri. Banyak pihak mencibirnya.

Begitulah sepertinya tabiat  kebanyakan orang Indonesia, merasa tidak percaya kalau sebetulnya mampu. Akibatnya sulit menemukan orang yang percaya diri dengan kemampuannya, mungkin karena takut dicemooh atau dihina.

Dalam kegiatan pembelajaran pun begitu. Ketika belajar di kelas, suasana sunyi senyap. Jarang ada siswa yang berani bertanya atau mengemukakan pendapatnya. Hal ini berdampak kepada kemampuan berpikir kritis siswa yang menjadi kurang berkembang. Sepertinya siswa merasa takut salah atau malu dicemooh oleh teman-temannya. Meskipun saya berusaha memberikan reward nilai  tambahan kepada siswa yang berani bertanya atau mencoba menjawab pertanyaan (walaupun jawabannya salah), tidak serta merta mampu menggugah keberanian semua siswa di kelas.

Paradoks terjadi, ketika ulangan harian bahkan ujian nasional. Tanpa sungkan, di depan pengawas, siswa peserta ujian bertanya kepada temannya untuk meminta jawaban. Di sini sangat terlihat betapa rendahnya kepercayaan diri siswa.

Sistem Pendidikan Nasional Indonesia sekarang ini tidak hanya menuntut terciptanya manusia Indonesia yang cerdas intelektualnya tapi juga harus berkarakter. Namun peran seorang guru dalam menanamkan nilai-nilai sehingga terbentuk karakter yang diinginkan tentunya harus didukung oleh lingkungan terdekat, yaitu keluarga.

Percuma bila guru di sekolah senantiasa mewanti-wanti, berusaha menanamkan kejujuran, tapi jika kembali ke rumah, orang tua malah menyarankan kepada anaknya agar mencari jawaban dengan berbagai cara asalkan anaknya mendapatkan nilai yang bagus. Tentu saja nilai kejujuran, kepercayaan diri dan tekun belajar yang berusaha ditanamkan guru di sekolah menjadi hancur. Jika ini yang terjadi, maka sampai kapan pun orang Indonesia akan terus rendah diri, menjadi pengikut atau konsumen produk-produk asing. Merasa bangga dengan bangsa lain tapi malu dengan bangsanya sendiri. Jadi, jika bangsa ini ingin maju, baik orang tua maupun guru harus sepakat untuk menanamkan kejujuran.

2 komentar:

Sovie Yanti Aprillia mengatakan...

Saya suka Bu, Paragraf terakhir yang ibu tulis :)

Gita Nurul Puspita mengatakan...

Terima kasih apresiasinya, mbak Sovie. Salam kenal :)