Jumat, Mei 08, 2009

BALADA SISWA BERPRESTASI DALAM MENGHADAPI UN

Semakin hari saya merasa prihatin melihat kondisi psikologis beberapa orang siswa kelas IX yang saya kenal sebagai siswa berprestasi yang tidak pernah beranjak dari rangking lima besar. Menjelang detik-detik pelaksanaan Ujian Nasional (UN) yang menurut rencana diselenggarakan akhir April ini, konsentrasi belajar mereka semakin menurun. Keadaan seperti ini sangatlah tidak lazim. Tak biasanya mereka kurang antusias berpartisipasi saat belajar di kelas. Tugas yang seharusnya dapat mereka selesaikan tepat pada waktunya menjadi terbengkalai. Ketika saya mempertanyakan menurunnya kualitas belajar mereka, mereka memberikan jawaban yang membuat saya terhenyak. Ternyata mereka sangat merasa kelelahan dengan jadwal belajar yang begitu padat, apalagi menyongsong UN yang semakin mendekat. Setelah bangun tidur, mereka harus segera bersiap untuk mengikuti kegiatan pengayaan di sekolah yang dimulai pukul enam pagi selama satu jam. Setelah beristirahat 10 menit, mereka beranjak mengikuti KBM reguler sampai pukul satu siang. Kegiatan belajar tidak berhenti sampai di situ. Selepas sekolah mereka mengikuti les atau bimbingan belajar tambahan hingga petang hari. Tiba di rumah dalam keadaan lelah dan mengantuk, mereka sudah tidak memiliki energi lagi untuk mengerjakan setumpuk tugas sekolah.

Kenyataan ini menyadarkan saya bahwa pemberlakuan ujian nasional membawa pengaruh negatif kepada siswa. UN sebagai high stakes testing (ujian yang berdampak serius terhadap masa depan siswa) memaksa para guru untuk menekankan pembelajaran dengan memberi banyak latihan untuk menyelesaikan soal-soal dengan alasan agar siswa familiar dengan bentuk soal-soal UN. Siswa diperkenalkan dengan berbagai “cara cepat” tanpa mengindahkan nalar atau logika berpikir. Para siswa akan berorientasi pada nilai sehingga ilmu tidaklah berarti bagi mereka. Yang mereka pelajari justru bagaimana cara menjawab soal-soal ujian yang diberikan dengan waktu secepat mungkin dan benar. Desakan UN membuat guru kelas IX dan kelas XII tidak memiliki kesempatan untuk mengeksplorasi kurikulum dan melaksanakan pembelajaran yang ideal. Contohnya saja dalam pembelajaran IPA.

IPA memiliki empat dimensi (Cain dan Evans dalam Rustaman et al., 2003), yaitu proses (metode ilmiah), sikap, konten (produk), dan teknologi. Dengan demikian untuk memperoleh konten (produk) siswa harus melaksanakan proses (metode ilmiah). Konten akan menjadi sangat melekat dan bernilai dalam diri siswa jika siswa memperolehnya sendiri melalui learning by doing. Bila selama di kelas VII ataupun di kelas VIII siswa telah dilatih untuk mengembangkan keterampilan ilmiahnya untuk memperoleh suatu konsep, waktu dua tahun belajar akan menjadi sia-sia jika di kelas IX siswa hanya mempelajari IPA melalui drill atau latihan-latihan soal. Kegiatan belajar demikian secara tidak langsung menjadikan siswa sebagai korban. Dengan kata lain, pembelajaran konvensional seperti ini mematikan potensi siswa karena siswa hanya dijejali informasi tanpa ada waktu untuk mengendapkan konsep-konsep yang diperolehnya.

Demikianlah, UN menjadi momok yang menakutkan tidak hanya bagi siswa, namun juga bagi guru dan orang tua. Dilaksanakannya kegiatan pengayaan oleh guru di sekolah yang notabene merupakan salah satu bentuk usaha untuk mengurangi kekhawatiran akan ketidaklulusan; begitupun dengan para orang tua yang merasa pembelajaran di sekolah tidak cukup memadai mendorong putra-putrinya agar rutin mengikuti kegiatan bimbingan belajar tambahan. Inilah sisi lain yang terungkap di lapangan yang menunjukkan bahwa UN membuat siswa, guru dan para orang tua berada dalam cekaman psikologis. UN yang selama ini dicanangkan pemerintah dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia ternyata justru malah melemahkan kondisi kejiwaan siswa.

Bila ditelaah lebih lanjut, maka selama beberapa bulan ini, siswa tak ubahnya robot yang harus belajar selama berjam-jam. Ketika tiba di rumah mereka tidak memiliki waktu untuk mengulas kembali dan mengendapkan materi yang sudah dipelajarinya. Syaiful Bahri Djamarah dalam bukunya Psikologi Belajar (2002) mengemukakan bahwa belajar terus menerus selama berjam-jam adalah suatu kegiatan belajar yang tidak menguntungkan. Karena terlalu lama belajar tanpa istirahat akan menimbulkan kelelahan. Konsentrasi belajar pun akhirnya terpecah-pecah. Yang sudah dibaca berlalu begitu saja melewati tempat penampungan kesan.

Selama belajar perlu juga ada istirahat untuk pengendapan terhadap sejumlah kesan yang sudah diterima dari kegiatan belajar. Menghubungkan apa yang telah dipelajari dengan ilmu pengetahuan yang telah dimiliki adalah penting, agar ilmu pengetahuan yang telah dimiliki itu tidak berkotak-kotak, tetapi dirasakan saling berhubungan. Juga agar sejumlah kesan yang telah didapat tidak berdesak-desakan, sehingga tidak mudah terlupakan. Dengan begitu, maka waktu, tenaga, dan pikiran tak terbuang percuma. Istirahat untuk pengendapan ibarat air keruh yang diendapkan untuk mendapatkan air yang jernih, sejernih kesan-kesan yang diendapkan ketika belajar.

Kita hendaknya becermin dari kisah ironis siswa berprestasi yang sudah saya paparkan. Benarkah tekanan akan memaksa siswa untuk menunjukkan kemampuan terbaiknya dalam meraih nilai UN yang tinggi atau justru hal sebaliknya yang akan terjadi? Tentunya kita semua tidak menginginkan UN menjadi antiklimaks dari prestasi siswa.
Itulah kondisi nyata yang dihadapi seorang guru ketika berada di kelas. Sejenak, marilah kita merenungkan, apakah sistem evaluasi seperti ini masih layak dipertahankan ataukah ada bentuk evaluasi lain yang lebih baik dari sistem UN ini? Jangan sampai keinginan pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan Indonesia hanya berakhir dengan kisah nilai-nilai di atas kertas. Dimana nilai-nilai tersebut selalu dibandingkan dengan nilai-nilai yang diperoleh negara tetangga tanpa melihat esensi pendidikan manusia Indonesia seutuhnya. Alangkah lebih baik bila kita berkaca dengan cermin kita sendiri, tidak berkaca di cermin rumah tetangga.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

wahh bener bu..................

(pernah di alami huhuhu)