Selasa, September 29, 2009

Mengembangkan Jiwa Entrepreneurship Melalui Kegiatan Pembelajaran

Ketika menjadi pembicara di sebuah seminar pendidikan, Helmi Yahya menuturkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang ternyata kreativitasnya semakin menurun. Sebagai seorang pendidik, pada awalnya saya merasa kaget mendengar hal tersebut. Akan tetapi jika direnungkan, pernyataan Helmi Yahya ini ada benarnya.


Selama ini karena berorientasi mengejar nilai ujian nasional yang tinggi, seringkali guru terpaku untuk menjejali siswa dengan berbagai informasi dan teori. Siswa dituntut untuk menghapalkan berbagai pengetahuan tanpa dibekali kemampuan untuk mengeksplorasi, menemukan maupun mengaplikasikan pengetahuannya. Apa yang selama ini dilakukan tidak sepenuhnya salah, akan tetapi secara tidak langsung guru telah membuat siswa hanya menjadi konsumen pengetahuan. Kreativitas berpikir siswa secara tidak sengaja dipasung. Akibatnya bukan hal yang aneh jika bertahun-tahun ke depan, siswa yang telah dididik kurang mampu bersaing dan tidak berhasil memperoleh pekerjaan yang pantas.

Fakta di lapangan, sebanyak 900 ribu sarjana dilaporkan menganggur pada 2009 ini. Mereka berasal dari 2.900 perguruan tinggi yang ada dengan berbagai disiplin ilmu. Jumlah tersebut menurut Rektor Universitas Atmajaya F.G. Winarno meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya 740 ribu sarjana. Setiap tahun rata-rata 20 persen lulusan perguruan tinggi kita menjadi pengangguran.

Tingginya angka pengangguran di kalangan sarjana ini menurut Winarno tak lepas dari rendahnya keterampilan di luar kompetensi utama sebagai sarjana. Padahal untuk menjadi seorang lulusan yang siap kerja, perlu tambahan-tambahan keterampilan di luar bidang akademik terutama yang berhubungan dengan entrepreneurship (kewirausahaan).

Ir. Ciputra mengemukakan lima alasan penting guru perlu memperkenalkan, mempromosikan, dan melatih kemampuan kewirausahaan kepada siswa. Pertama, kebanyakan siswa kita tidak dibesarkan dalam budaya wirausaha. Mereka lahir di lingkungan pekerja, petani, nelayan, atau pegawai pemerintah sehingga tidak heran ketika dewasa memiliki pola pikir mencari kerja dan bukan mencipta kerja. Kedua, fakta bahwa saat ini kita sudah memiliki terlalu banyak pencari kerja dan terlalu sedikit pencipta kerja perlu disampaikan kepada siswa sehingga mereka dapat memikirkan pilihan wirausaha secara matang. Ketiga, apabila kita tidak dapat menyediakan lapangan kerja bagi generasi muda kita bukankah kita memiliki kewajiban untuk mendidik dan melatih generasi muda Indonesia untuk memiliki kemampuan untuk menciptakan pekerjaan bagi diri mereka sendiri? Keempat, pertumbuhan jumlah entrepreneur akan menciptakan kesejahteraan masyarakat. David McClelland, sosiolog terkemuka, berpendapat bahwa suatu negara bisa makmur bila terdapat sedikitnya sebanyak 2 % dari jumlah penduduk. Di Indonesia sendiri, jumlah entrepreneur sangat minim. Tahun 2007 lalu baru tercatat 0,18% atau 400 ribu dari jumlah penduduk Indonesia. Sedikitnya kita memerlukan 11 kali lebih banyak (4,4 juta orang). Sebagai perbandingan saja Singapura pada 2001 memiliki 2,1% entrepreneur sedang pada 2005 meningkat menjadi 7,2%. Tidak heran bila pendapatan per kapita penduduk Singapura puluhan kali lebih tinggi dari Indonesia.

Oleh karena itu, perlu kiranya dilakukan inovasi pembelajaran dengan mengintegrasikan kewirausahaan ke dalam pembelajaran. Siswa perlu terlibat secara aktif dalam pembelajaran yang menantang kreativitas berpikirnya dan latihan kewirausahaan merupakan media yang sesuai karena dunia kewirausahaan selalu memerlukan penuangan ide-ide kreatif agar seseorang tetap dapat eksis di dalamnya.

Dalam merancang pembelajaran yang demikian, guru terlebih dulu hendaknya mengenali karakteristik materi ajar. Materi ajar hendaknya dapat dieksplorasi siswa melalui praktikum, dari kegiatan praktikum ini siswa dapat menghasilkan suatu produk yang dapat mereka pasarkan. Sumber belajar juga hendaknya dekat dengan keseharian siswa agar siswa mudah mengaksesnya. Selanjutnya, siswa bersama rekan-rekan sekelompoknya diperkenalkan dengan Business Plan. Mereka diminta untuk mendiskusikan produk apa yang diperlukan oleh masyarakat, menentukan modal, bagaimana cara memperoleh modal, menentukan target pemasaran, menentukan harga produk yang terjangkau oleh pasar, dan menentukan strategi promosi dengan cara halal dan baik. Setelah itu, mereka dapat memulai praktek pengerjaannya di rumah atau di sekolah. Produk yang sudah siap dijual mereka pasarkan dengan menerapkan strategi yang telah direncanakan. Sampai akhirnya mereka dapat menyimpulkan, berapa keuntungan atau kerugian yang diperoleh. Mereka sendirilah yang menjadi pelaku bisnis dan aktif menjalankan perniagaan. Di sini pula mereka mempelajari makna untung atau rugi. Siswa yang memperoleh keuntungan hendaknya bersyukur, sedangkan yang mengalami kerugian tak perlu terlalu kecewa, karena mereka memperoleh pelajaran berharga agar nantinya lebih baik lagi dalam membuat perencanaan bisnis. Selain itu siswa juga akan semakin menghargai jerih payah orang tuanya.

Mari bapak dan ibu, sama-sama kita menumbuhkan jiwa entrepreneurship pada diri siswa. Agar nantinya mereka bisa mandiri secara finansial dan bisa menjadi pelaku-pelaku bisnis yang amanah dan mampu membuka lapangan pekerjaan untuk dirinya sendiri dan orang lain. Bukankah sebaik-baik manusia adalah yang banyak bermanfaat untuk umat?


Untuk memperoleh gambaran yang lebih lengkap mengenai kegiatan pembelajaran, saya mempunyai contoh Lembar Kerja Siswa (LKS) yang sesuai. Silakan klik di sini.
Siswa kelas IX-1 sedang memasarkan Pizza yang diproduksi mereka dengan menerapkan prinsip bioteknologi

Proyek Produksi dan Pemasaran Yoghurt,
Manajer Proyek Azhar Isti Hanifah kelas IX-3


Contoh laporan hasil kegiatan siswa dapat diunduh di sini.

Tidak ada komentar: