Jumat, Mei 08, 2009

Bermain Peran untuk Mengembangkan Kecerdasan Majemuk Siswa

Setahun yang lalu dalam sebuah acara bedah buku di Campus Centre ITB, Andrea Hirata mengemukakan keprihatinannya terhadap dunia pendidikan di Indonesia. Menurutnya ukuran kecerdasan bagi orang Indonesia adalah jika dia menguasai matematika atau IPA. Memang benar, tak jarang masih dijumpai guru yang dengan mudahnya menjustifikasi kemampuan siswa dengan mengatakan bahwa muridnya bodoh hanya karena muridnya tidak dapat menyelesaikan soal perhitungan sederhana tanpa melihat bahwa sebenarnya muridnya memiliki kemampuan lebih dalam mengolah kata.

Realita ini berbeda sekali dengan apa yang diperoleh Andrea ketika ia menuntut ilmu di Sorbonne University, Prancis. Cerdas tidaknya seseorang tidak hanya dinilai lewat penguasaan dua bidang studi itu, akan tetapi banyak kecerdasan lainnya yang patut untuk dihargai. Tak mengherankan, di sana seorang anak dapat berkembang sesuai dengan potensi, minat dan bakatnya. Entah itu dalam bidang ekonomi, musik, matematika, sastra, dan lain-lain.
Pada kenyataannya kita tidak bisa mengingkari bahwa banyak orang-orang yang sukses bukanlah seorang juara kelas di sekolahnya. Sebagai contoh, Gede Prama, seorang motivator mantan direktur beberapa perusahaan ternama. Ia mengakui bahwa dirinya bukan seorang yang berprestasi, tapi ia berhasil menggali potensi kecerdasannya dengan menulis yang membuat ia diakui sebagai motivator level internasional sampai sekarang. Begitupun dengan Thiery Henry, pesepakbola terkenal dari Prancis. Ia menyadari bahwa dirinya bukan orang yang pintar di sekolah, tetapi ia mampu mengetahui potensinya. Alhasil, ia lebih memilih untuk memaksimalkan kecerdasannya dalam olah tubuh.

Pernyataan tersebut saya coba elaborasi dengan melihat teori kecerdasan majemuk (multiple intelligences) yang dikembangkan profesor pendidikan dari Harvard University, Howard Gardner. Dr. Gardner mengemukakan delapan kecerdasan yang mewakili potensi yang ada pada diri manusia, yaitu: (1) kecerdasan bahasa, cerdas dalam mengolah kata, (2)kecerdasan logika-matematis, cerdas dalam berhitung dan bernalar, (3) kecerdasan spasial, cerdas dalam berpikir tiga dimensi, (4) kecerdasan tubuh/kinestetik, cerdas dalam olah tubuh, (5) kecerdasan musikal, cerdas dalam bermusik, (6) kecerdasan interpersonal, cerdas dalam memahami pikiran dan perasaan orang lain, (7) kecerdasan intrapersonal, cerdas dalam menyadari kelemahan dan keunggulan diri, (8) kecerdasan naturalis, cerdas dalam memahami alam sekitar.
Kita juga dapat menambahkan satu buah kecerdasan lainnya, yaitu cerdas spiritual. Seseorang yang memiliki kecerdasan spiritual meyakini keberadaan Tuhan dalam mengatur alam semesta. Orang yang memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi mampu merefleksikan keberadaan Tuhan dalam kehidupannya sehari-hari.

Sampai sekarang, kecerdasan intelektual begitu sangat dihargai, sementara kecerdasan lainnya masih dipandang sebelah mata. Kiranya kondisi ini terjadi disebabkan berbagai kendala yang dialami guru di kelas. Pertama, kurikulum sebagai patokan pelaksanaan pembelajaran, yang diterapkan bertahun-tahun lamanya, begitu menitikberatkan pada penguasaan konsep (kecerdasan intelektual). Kedua, bentuk-bentuk kecerdasan lainnya jarang dievaluasi, baik dalam ujian nasional maupun ujian sekolah. Soal-soal yang dipergunakan untuk mengevaluasi masih berkutat pada tes penguasaan konsep siswa.

Lantas, bagaimanakah peranan guru? Hendaknya guru berperan sebagai fasilitator dan motivator dalam memberikan latihan-latihan berkesinambungan yang membantu berkembangnya kecerdasan majemuk siswa. Metode bermain peran merupakan metode pembelajaran yang sesuai menjadi wahana siswa untuk meningkatkan kecerdasan majemuknya. Siswa seolah-olah berada dalam suatu situasi untuk memperoleh suatu pemahaman tentang suatu konsep. Metode ini sanggup mengubah kegiatan pembelajaran yang biasanya dianggap kaku dan monoton menjadi setting yang dinamis karena setiap siswa dalam kelompoknya diberikan kebebasan mengekspresikan kemampuan dirinya.

Siswa diminta untuk merancang penampilan yang akan mereka bawakan disesuaikan dengan tema yang telah ditentukan guru. Tema atau konsep yang dapat diangkat merupakan konsep-konsep yang terbuka, misalnya mengenai lingkungan atau sosial. Guru hanya memberikan masukan bila siswa memintanya. Setiap siswa dirangsang untuk memberikan penampilan terbaiknya. Mereka dapat mengkolaborasikan berbagai kemampuan dalam mengolah skenario, menggubah lagu, juga kemampuan untuk menarik perhatian penonton. Untuk memberikan motivasi yang lebih, seyogyanya penampil terbaik diberikan penghargaan.

Untuk menjadi sungguh-sungguh cerdas, maka diperlukan banyak sekali kecerdasan yang menonjol. Oleh karena itu, kontribusi guru sangat perlu didukung oleh para orang tua, agar putra-putrinya mampu menjadi orang yang sukses di masa depan.

2 komentar:

permatakinanti mengatakan...

saya terkesan sekali dengan artikel bu guru gita, saya juga seorang guru tapi saya guru SD. saya berharap ada lagi artikel - artikel yang lain yang dapat menambah wawasan.

Gita Nurul Puspita mengatakan...

Terima kasih atas atensinya. Untuk sementara ini belum ada artikel baru, kecuali mengenai entrepreneurship. Best regards.