Senin, Desember 10, 2012

Duh, Ternyata Bahaya Lho Membakar Sampah Plastik!



Sampah.... sampah... sampah... Makin hari makin menggunung. Sampah bahkan dapat menjadi mimpi buruk. Masih ingat dengan peristiwa longsor sampah di TPA Leuwigajah 7 tahun lalu? Sampah mampu  menewaskan 143 orang. Sampah jika tidak dikelola dengan baik memang hanya akan menambah masalah.
 Banyak tulisan mengupas tentang sampah. Semoga tulisan ini dapat memberi sumbangsih dan menggugah kesadaran tentang pengelolaan sampah yang baik.
Bahan buangan makin hari makin bertambah banyak, hal ini erat berhubungan dengan jumlah penduduk dan di satu pihak ruangan hidup manusia relatif tetap. Bahan buangan yang seringkali disebut sebagai sampah merupakan material sisa yang tidak diinginkan dan tidak dipakai setelah berakhirnya suatu proses atau aktivitas (Wikipedia, 2007). Proses terjadinya sampah dapat digambarkan sebagai berikut (Soenhadji, 2005).
Gambar 2.4. Proses Terjadinya Sampah

  1. Jenis Sampah
Penggolongan jenis sampah dapat didasarkan pada komposisi kimia, sifat mengurai, mudah tidaknya terbakar, berbahaya, dan karakteristik (Soenhadji,. 2005). Berdasarkan penggolongan komposisi kimianya, maka sampah dibagi menjadi sampah organik dan sampah anorganik. Sampah yang termasuk sampah organik adalah sampah dapur, sampah restoran, sisa sayuran, rempah-rempah atau sisa buah, dan lain-lain, yang dapat mengalami pembusukan secara alami. Sampah anorganik meliputi logam besi, kaleng, plastik, karet, botol, dan lain-lain, yang tidak dapat mengalami pembusukan secara alami (Jala Sampah, 2004).

Sampah yang secara alami mudah terurai (degradable) dan sampah yang sukar terurai (non-degradable) adalah penggolongan sampah didasarkan sifat mengurai. Berdasarkan mudah tidaknya terbakar, maka sampah dibagi menjadi sampah yang mudah terbakar (combustible), dan sampah yang sulit terbakar (non-combustible). Demikian juga ada penggolongan sampah berbahaya dan sampah yang tidak berbahaya. Bahan kimia, bekas alat medis dari rumah sakit dan radioaktif merupakan sampah berbahaya (Soenhadji, 2005).

  1. Komposisi Fisik Sampah
Susunan sampah secara fisik selain untuk pemilihan dan penggunaan alat pengelolaan, dapat digunakan sebagai penjajagan dalam usaha pemanfaatan sumber energi. Komponen sampah di daerah perkotaan umumnya terdiri dari (Soenhadji, 2005): 1) Sisa makanan; 2) Kertas; 3) Plastik; 4) Kaleng; 5) Sampah pekarangan; 6) Kayu; 7) Debu; 8) Abu, dan sebagainya. Tentunya di berbagai kota bervariasi menurut tempat, musim, tingkat sosial, ekonomi, jenis kegiatan masyarakat, transportasi, pembangunan, dan faktor lainnya.

  1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Sampah
Produksi sampah akan selalu bertambah pada masa-masa mendatang. Di Indonesia, laju kenaikan sampah diperkirakan lebih besar dari 1,4 % per tahun.

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi produksi sampah adalah (Soenhadji, 2005; WALHI, 2004) :
a.       Jumlah penduduk dan kepadatannya
b.      Tingkat aktivitas
c.       Pola kehidupan/ tingkat sosial ekonomi
d.      Letak geografi
e.       Iklim
f.       Musim
g.      Kemajuan teknologi
Pembungkusan plastik, perkembangan kemasan makanan dan obat mempengaruhi jenis dan jumlah sampah.

A.    SAMPAH DAPAT MENJADI MASALAH
Kesehatan seseorang maupun masyarakat merupakan masalah sosial yang selalu berkaitan antara komponen-komponen yang ada di dalam masyarakat. Sampah sendiri bila diamankan tidak berpotensi mempengaruhi lingkungan (Soenhadji, 2005). Namun demikian, sering kita temui bahwa sampah tidak berada pada tempat yang menjamin keamanan lingkungan sehingga mempunyai dampak terhadap kesehatan lingkungan.

Sampah yang kurang diperhatikan dapat berfungsi sebagai tempat berkembangnya serangga atau hewan mengerat yang dikenal sebagai vektor penyakit menular. Di samping itu sampah dapat menimbulkan pencemaran udara, air, dan tanah yang secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap kesehatan lingkungan. Timbulnya gas metana dari tumpukan sampah akan memperbesar kemungkinan terjadinya peristiwa kebakaran. Gas-gas amonia, karbondioksida, H2S yang dihasilkan dari dekomposisi sampah organik akan menimbulkan bau yang tidak sedap sehingga mengganggu pernapasan (Sutasurya, 2006).

Gas karbondioksida yang dihasilkan juga berperan sebagai gas rumah kaca. Menurut Surtikanti (2006), gas rumah kaca (O3, CH4, NOX, CO2, CFC) yang ada di atmosfer akan meneruskan gelombang pendek dari matahari yang mempunyai lamda antara 0,15 mm sampai 4 mm diemisikan ke bumi. Radiasi matahari yang sampai ke bumi ini akan dipantulkan kembali ke ruang angkasa. Pada waktu pengembalian emisi radiasi ke ruang angkasa, gas rumah kaca menyerap panjang gelombang 4 – 120 mm. Radiasi gelombang panjang yang diserap gas rumah kaca akan diemisikan kembali ke bumi. Akibatnya radiasi yang diterima di permukaan bumi makin bertambah dan suhu makin panas.

Secara fisik, sampah yang tak terurus dengan baik dapat mengganggu kelancaran lalu lintas, dan akan mengganggu kenyamanan dan keindahan wilayah. Lebih jauh lagi keadaan demikian akan menurunkan martabat bangsa.

B.     SAMPAH PLASTIK
Di balik praktis dan efisiennya, plastik memiliki kelemahan yaitu tidak tahan panas dan dapat mencemari makanan atau minuman akibat migrasi komponen monomer yang akan berakibat buruk terhadap kesehatan konsumen. Bahannya, yang tidak dapat dihancurkan dengan cepat dan alami juga dapat mendatangkan masalah bagi lingkungan jika tidak dikelola dengan baik. 

Dr. Eng Agus Haryono, peneliti bidang teknologi proses dan katalisi Puslit Kimia LIPI (Haryono, 2005), menjelaskan, di dalam plastik terkandung lebih dari 10 ribu molekul. Dalam pembuatannya, terjadi proses polimerisasi. Di dalam campuran tersebut, ada sebagian molekul yang tidak tercampur secara sempurna atau berdiri sendiri. Ketika plastik dipanaskan, molekul yang bebas itu akan mudah terlepas.

Kebanyakan plastik seperti PVC (poly vinyl chloride), agar tidak bersifat kaku dan rapuh ditambahkan dengan suatu bahan pelembut (plastikizer) yang diambil dari kumpulan flafat. Belakangan diketahui penggunaan bahan pelembut ini yang justru dapat menimbulkan masalah kesehatan. 

Sebagai contoh, penggunaan bahan pelembut seperti bifenil poliklorin (PCB) sekarang sudah dilarang pemakaiannya karena dapat menimbulkan kematian jaringan dan kanker pada manusia (karsinogenik). Sedangkan plastik PVC yang menggunakan pelembut jenis di(2-ethylhexyl) adipate (DEHA), berdasarkan penelitian di Amerika Serikat, dapat mengkontaminasi makanan dengan mengeluarkan bahan pelembut ini ke dalam makanan. Berdasarkan data kajian yang dijalankan terhadap hewan percobaan, DEHA dapat menggangu sistem reproduksi dan menghasilkan janin yang cacat, selain mengakibatkan kanker. DEHA diduga mempunyai karakter yang sama dengan hormon yang membawa sifat-sifat khas wanita, yaitu estrogen.

Hadi (2005) dan Haryono (2005) menyatakan, terdapat 3 jenis plastik yang masih diragukan keamanannya karena diduga mengandung unsur yang bersifat karsinogenik serta mengandung dioksin yang berbahaya bagi kesehatan tubuh dan lingkungan hidup. Ketiga jenis itu adalah polistiren, PVC, dan vinylidence chloride resin (VCR). Ketiga jenis plastik ini misalnya plastik bening dan stirofom (misalnya kemasan mi instan gelas).

Bagaimanapun, meski pihak produsen sudah mengupayakan agar produk yang dibuatnya seaman mungkin, bukan tak mungkin pencemaran terhadap makanan terjadi justru akibat ulah konsumennya sendiri yang salah ketika menggunakannya. Misalnya, membiarkan piastik terkena suhu yang sangat panas. Karena, semakin tinggi suhu semakin besar pula kecepatan perpindahan komponen plastik ke dalam makanan atau minuman.

C.    PENGELOLAAN SAMPAH
WALHI (2004) dan Jala Sampah (2004) mengemukakan, untuk menangani permasalahan sampah secara menyeluruh perlu dilakukan alternatif-alternatif pengelolaan. Sampah yang dibuang harus dipilah (Surtikanti, 2006), sehingga tiap bagian dapat dikomposkan atau didaur-ulang secara optimal, daripada dibuang ke sistem pembuangan limbah yang tercampur seperti yang ada saat ini. Dan industri-industri harus mendesain ulang produk-produk mereka untuk memudahkan proses daur-ulang produk tersebut. Prinsip ini berlaku untuk semua jenis dan alur sampah.

Program-program sampah kota harus disesuaikan dengan kondisi setempat agar berhasil, dan tidak mungkin dibuat sama dengan kota lainnya. Khususnya sektor informal (tukang sampah atau pemulung) merupakan suatu komponen penting dalam sistem penanganan sampah yang ada saat ini, dan peningkatan kinerja mereka harus menjadi komponen utama dalam sistem penanganan sampah di negara berkembang. Salah satu contoh sukses adalah zabbaleen di Kairo, yang telah berhasil membuat suatu sistem pengumpulan dan daur-ulang sampah yang mampu mengubah/memanfaatkan 85 persen sampah yang terkumpul dan mempekerjakan 40,000 orang (WALHI, 2004).

Sampah-sampah organik seharusnya dijadikan kompos, vermi-kompos (pengomposan dengan cacing) atau dijadikan makanan ternak untuk mengembalikan nutirisi-nutrisi yang ada ke tanah. Hal ini menjamin bahwa bahan-bahan yang masih bisa didaur-ulang tidak terkontaminasi, yang juga merupakan kunci ekonomis dari suatu alternatif pemanfaatan sampah. Daur-ulang sampah menciptakan lebih banyak pekerjaan per ton sampah dibandingkan dengan kegiatan lain, dan menghasilkan suatu aliran material yang dapat mensuplai industri.

Hambatan terbesar daur-ulang, bagaimanapun, adalah kebanyakan produk tidak dirancang untuk dapat didaur-ulang jika sudah tidak terpakai lagi. Hal ini karena selama ini para pengusaha tidak mendapat insentif ekonomi yang menarik untuk melakukannya. Perluasan Tanggungjawab Produsen (Extended Producer Responsibility - EPR) adalah suatu pendekatan kebijakan yang meminta produsen menggunakan kembali produk-produk dan kemasannya. Kebijakan ini memberikan insentif kepada mereka untuk mendisain ulang produk mereka agar memungkinkan untuk didaur-ulang, tanpa material-material yang berbahaya dan beracun. Penerapan hal-hal yang telah disebutkan sebelumnya merupakan sistem-sistem alternatif yang mampu menggantikan fungsi-fungsi landfill atau insinerator.

Prinsip-prinsip yang juga bisa diterapkan dalam keseharian misalnya dengan menerapkan Prinsip 4R yaitu (WALHI, 2004):
  • Reduce (Mengurangi); sebisa mungkin lakukan minimalisasi barang atau material yang kita pergunakan. Semakin banyak kita menggunakan material, semakin banyak sampah yang dihasilkan.
  • Reuse (Memakai kembali); sebisa mungkin pilihlah barang-barang yang bisa dipakai kembali. Hindari pemakaian barang-barang yang disposable (sekali pakai, buang). Hal ini dapat memperpanjang waktu pemakaian barang sebelum ia menjadi sampah.
  • Recycle (Mendaur ulang); sebisa mungkin, barang-barang yg sudah tidak berguna lagi, bisa didaur ulang. Tidak semua barang bisa didaur ulang, namun saat ini sudah banyak industri non-formal dan industri rumah tangga yang memanfaatkan sampah menjadi barang lain.
  • Replace (Mengganti); teliti barang yang kita pakai sehari-hari. Gantilah barang barang yang hanya bisa dipakai sekali dengan barang yang lebih tahan lama. Juga telitilah agar kita hanya memakai barang-barang yang lebih ramah lingkungan, Misalnya, ganti kantong keresek kita dengan keranjang bila berbelanja, dan jangan pergunakan styrofoam karena kedua bahan ini tidak bisa didegradasi secara alami.



D.    PEMBAKARAN SAMPAH MENGUNAKAN INCINERATOR
Incinerator merupakan alat yang dirancang khusus untuk membakar sampah yang tidak dapat diuraikan oleh mikroorganisme. Berikut adalah contoh incinerator yang dipergunakan oleh negara-negara di dunia (Batterman, 2004; PATH, 2004a).



 Gambar 2.5. Incinerator De Monfort

Gambar 2.6. Bagian-bagian Incinerator De Monfort

Incinerator yang dibuat dari batu bata dan beberapa logam ini dirancang  JD Pickens, dari Universitas De Monfront, Inggris dan telah diperkenalkan di beberapa wilayah, yaitu  Afrika Timur dan Barat,  Kosovo, Sri Lanka, dan lain-lain.  Untuk membuat sendiri incinerator seperti De Montfront menghabiskan biaya 1500-2000 dolar (Batterman, 2004).

PATH (2006a) mengemukakan, jika masih dalam kondisi baru dan dioperasikan serta dipelihara dengan tepat, incinerator ini dapat bekerja dalam suhu tinggi (700- 800 derajat Celcius).  Struktur incinerator dirakit dan dibangun menggunakan semen dan logam. Tidak ada peralatan khusus yang diperlukan. 


Incinerator memiliki kamar pembakaran primer dan sekunder. Zona pembakaran primer berada dekat pintu depan. Pintu ini untuk memindahkan abu, menyalakan api. Sampah dimasukkan melalui pintu di atas kamar primer. Pintu ini memasukkan udara, memungkinkan operator menyalakan api dan memindahkan abu. Sampah dijatuhkan melalui pintu muatan di atas kamar primer. Incinerator harus dipanaskan terlebih dahulu sebelum sampah dimasukkan, sekira 30 menit atau lebih.


Kamar kedua- yang tidak terjangkau operator- terpisah dari kamar primer oleh kolom batu bata. Udara tambahan dimasukkan ke dalam kamar kedua melalui bagian kecil yang terbuka pada bagian bawah dari dinding bagian belakang kamar kedua. Udara bercampur dengan gas dari kamar primer dan menyebabkan pembakaran kedua. 


Sebuah kontrol untuk mengatur panas dan waktu pembakaran berada di bagian bawah cerobong dan mengontrol gas dalam cerobong. Suatu pipa pada bagian leher cerobong mengindikasikan sampah seharusnya dimasukkan. Cerobong udara bertinggi 4 meter, melepaskan gas ke atmosfer.


Sampai saat ini di negara-negara berkembang menggunakan incinerator merupakan solusi terbaik dalam membakar sampah, daripada membakarnya langsung di area terbuka (WHO, 2006). Namun ternyata penggunaan incinerator tidak menyelesaikan semua masalah, justru tanpa disadari pembakaran sampah dengan menggunakan incinerator malah menimbulkan permasalahan baru bagi lingkungan, yaitu pencemaran udara dan tanah. 


Pencemaran udara adalah masuknya zat pencemar (berbentuk gas-gas dan partikel kecil/aerosol) ke dalam udara. Masuknya zat pencemar ke dalam udara dapat secara alamiah, misalnya asap kebakaran hutan, akibat gunung berapi, debu meteorit dan pancaran garam dari laut; juga sebagian besar disebabkan oleh kegiatan manusia, misalnya akibat aktifitas transportasi, industri, pembuangan sampah, baik akibat proses dekomposisi ataupun pembakaran serta kegiatan rumah tangga (Soedomo, 2001).


Bila sampah yang dibakar mengandung PVC, maka akan menghasilkan dioksin dan furans. Hal ini banyak sekali mendapatkan perhatian dari para ahli. Kondisi umum yang diperlukan untuk pembentukan dioksin adalah adanya abu, klorin organik dan anorganik, ion logam, dan range suhu incinerator 205-450 derajat Celcius (Batterman, 2004). Namun WHO (2006) menyatakan bahwa dioksin dapat terbentuk jika suhu pembakaran di bawah 800 derajat Celcius.


Dioksin dan furans yang dihasilkan akan mengkontaminasi pekerja yang mengoperasikan incinerator dan orang yang bekerja di dekatnya. Mereka akan terpapar secara langsung melalui pernapasan. Hal ini yang disebut jalur paparan langsung. Jika polutan udara tersebut tertimbun di tanah, vegetasi dan air, maka disebut paparan tidak langsung melalui pencernaan makanan atau air. Dengan kata lain, dioksin ditranspor terutama melalui udara dan terkumpul dipermukaan tanah, bangunan, jalanan, kaki lima, air dan daun daunan. Batterman (2004) mengemukakan jalur paparan dioksin berikut ini.


 Gambar 2.7. Jalur Paparan Dioksin

Dioksin adalah istilah yang umum dipakai untuk salah satu keluarga bahan kimia beracun yang mempunyai struktur kimia yang mirip serta mekanisma peracunan yang sama (Batterman, 2004). Keluarga bahan kimia beracun ini termasuk (a) Tujuh Polychlorinated Dibenzo Dioxins (PCDD); (b) Duabelas Polychlorinated Dibenzo Furans (PCDF); dan (c) Duabelas Polychlorinated Biphenyls (PCB).

PCDD dan PCDF bukanlah produk kimia yang dikomersilkan, tetapi produk sampingan yang secara tidak sengaja terjadi didalam banyak proses pembakaran dan beberapa proses industri kimia. PCB dengan sengaja diproduksi secara komersil dalam jumlah besar sampai produksi tersebut dilarang ditahun 1977. Dioksin bersifat ada terus menerus (persistent) dan terakumulasi secara biologi (bioaccumulated), dan tersebar didalam lingkungan dalam konsentrasi yang rendah. Tingkat konsentrasinya rendah, sampai parts per trillion (satu per 10 pangkat 12), terakumulasi sepanjang kehidupan dan ada terus bertahun-tahun, walaupun tidak ada penambahan lagi ke dalam lingkungan.

Dioksin termasuk ke dalam kelas bahan yang bersifat karsinogen (yang menyebabkan kanker). Efek samping dioksin terhadap binatang adalah perubahan sistim hormon, perubahan pertumbuhan janin, menurunkan kapasitas reproduksi, dan penekanan terhadap sistim kekebalan tubuh. Efek samping dioksin terhadap manusia adalah perubahan kode keturunan (marker) dari tingkat pertumbuhan awal dari hormon. Pada dosis yang lebih besar bisa mengakibatkan sakit kulit yang serius yang disebut `chloracne.'

Dioksin banyak dikeluarkan oleh sumber-sumber sebagai berikut (Sumaiku, -):
  • Tempat pembakaran sampah perumahan (Municipal Waste Combustor/ incinerator). Incinerator De Monfront menghasilkan 20 nanogram Toxicity Equivalent / m3 sampah plastik (WHO, 2006b)
  • Pembakaran sampah rumah tangga di pekarangan/udara terbuka
  • Pemakaian kayu bakar untuk masak
  • Kebakaran hutan
  • Tempat pembakaran bekas alat-alat kedokteran
  • Peleburan tembaga tahap kedua 
  • Tempat pengeringan semen di pabrik semen
  • Pembangkit listrik tenaga batubara
  • Pemutihan (dengan bahan khlor) bubur kayu dipabrik pembuatan kertas
WHO (2006b) telah menetapkan intake dioksin, furans dan PCB  setiap bulannya yang masih dapat ditoleransi manusia (Provosional Tolerable Monthly Intake/PTMI), yaitu sebesar 70 pikogram/kg berat tubuh.  PTMI ini merupakan perkiraan jumlah zat kimia per bulan yang dapat dihirup/dicerna tanpa adanya resiko terhadap kesehatan. Hampir seluruh paparan dioksin dan furans melalui rantai makanan, sehingga PTMI mewakili paparan kumulatif dari dioksin dan furans dari berbagai sumber, termasuk makanan dan air.

Disamping dioksin dan furan, pembakaran sampah juga menimbulkan kabut asap yang tebal yang mengandung bahan bahan lainnya seperti partikel debu yang kecil-kecil yang biasa disebut particulate matter (PM) serta bahan-bahan racun lainnya (Sumaiku, -). Particulate Matter ini bisa berukuran 10 mikron (kira-kira sama dengan rambut kita yang dibelah tujuh), biasa disebut PM10. Alat saring pernafasan kita tidak sanggup menyaring PM10 ini, sehingga PM10 ini bisa masuk kedalam paru-paru kita dan bisa mengakibatkan sakit gangguan pernafasan (asma dan paru paru)

Asap Abu atau asap hitam mengindikasikan pembakaran yang buruk dan suhu yang rendah (Batterman, 2004).



Gambar 2.8. dan 2.9.
Asap yang Dihasilkan dari Pembakaran Incinerator De Monfort

Tingginya emisi dapat disebabkan beberapa alasan (Batterman, 2004):
  • Konstruksi incinerator yang tidak benar
  • Pengoperasian yang tidak benar, kurangnya pelatihan yang diberikan pada pekerja
  • Pembakaran yang salah, yaitu temperatur yang rendah <800 1="1" bawah="bawah" c="c" dan="dan" detik="detik" di="di" pendek="pendek" penempatan="penempatan" span="span" waktu="waktu" yang="yang">
  • Kurangnya monitoring. Isyarat visual terkadang digunakan, tapi suhu dan parameter lainnya tidak secara langsung dimonitor.
  • Pemeliharaan yang tidak cukup.
  • Ketiadaan kontrol polusi.



WHO (2006a) memberikan pedoman mengenai incinerator agar dapat meminimalisir pembentukan polusi udara yang akan membahayakan kesehatan lingkungan.
  1. Mereduksi sampah secara efektif dan pemilahan sampah, yakinkan bahwa sampah yang tepatlah yang harus dibakar.
  2. Menempatkan incinerator jauh dari pemukiman atau area pertanian dan peternakan agar dapat meminimalisir paparan yang beresiko. Lapangan terbuka atau puncak bukit tanpa adanya pohon dan vegetasi tinggi lebih disarankan. Lembah, area perkayuan seharusnya dihindari karena cenderung mengalirkan angin.
  3. Merancang incinerator yang tepat, pastikan bahwa pembakaran dilakukan pada kondisi yang tepat, yaitu waktu dan suhu pembakaran yang tepat, juga meminimalisir sampah yang tidak tuntas dibakar.
  4. Pembuatan incinerator harus dikaji dari berbagai dimensi, misalnya emisi pembakaran yang akan dihasilkan.
  5. Pengoperasian yang tepat. Pengoperasian saat menyalakan dan mematikan alat yang tepat, menggunakan bahan bakar dan sampah yang sesuai untuk menjaga temperatur yang tepat, memastikan pembuangan abu yang tepat, dan peralatan perlindungan bagi pekerja.
  6. Perawatan secara periodik dan inspeksi secara berkala.

DAFTAR PUSTAKA

Batterman, Stuart.  (2004). Water, Sanitation and Health Protection of the Human Environment. [Online]. Tersedia: www.who.int/immunization_safety/publications/waste_management/en/assessment_SSIs.pdf. [8 Maret 2007]

Hadi, Sapto. (2005). Ancaman Polimer Sintetik Bagi Kesehatan Manusia. [Online]. Tersedia: http://www.chem-is-try.org/index.php?sect=artikel&ext=69. [8 Maret 2007]

Haryono, Agus (2005). Plastik Diciptakan untuk Membuat Hidup Lebih Praktis, Namun Ketidakmengertian Kita Menjadikannya Racun Mematikan. [Online]. Tersedia: http://mail.kimia.lipi.go.id/index.php?pilihan=berita&id=1&PHPSESSID=e9151239898b63f9433edc2fd1dea7. [8 Maret 2007]

Jala Sampah. (2004). Pengertian Sampah. [Online]. Tersedia: http://www.jala-sampah.or.id/index.htm. [8 Maret 2007]

Nn. (2007, 22 Februari). Warga Tetap Tolak TPA Leuwigajah Diaktifkan Lagi. Pikiran Rakyat [Online], halaman -. Tersedia: http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/022007/22/0209.htm#atas. [8 Maret 2007]

Nn.. (2006). Incinerator. [Online]. Tersedia:



PATH. (2004a). Managing Health Care Waste Disposal, How to use the waste disposal unit (incorporating the De Montfort incinerator). [Online]. Tersedia: www.afro.who.int/iss/operators_manual.pdf [8 Maret 2007]


PATH. (2004b). Health care waste disposal Guidelines on How to Construct, Use, and Maintain a Disposal Unit. [Online]. Tersedia: www.afro.who.int/iss/waste_disposal.pdf. [8 Maret 2007]

Soedomo, Moestikahadi. (2001). Pencemaran Udara  Kumpulan Karya Ilmiah. Bandung: Penerbit ITB.

Soenhadji, Soedjono. (2005). Pencemaran Lingkungan. Jakarta: Penerbit Universitas Terbuka.


Sumaiku, Yohan. (-). Apa Akibatnya Dari Pembakaran Sampah di Pekarangan Rumah Tangga dan Pembakaran/Kebakaran Hutan Terhadap Kesehatan. [Online]. Tersedia: http://www1.bpkpenabur.or.id/kps-jkt/sehat/sampah.htm.   [8 Maret 2007]

Surtikanti, Hertien. (2003). Modul Biologi Lingkungan Panduan untuk mahasiswa
Program Pasca Sarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Tidak diterbitkan.

Sutasurya, David. (2006). Dampak ‘Tipuan’ dari Sampah. [Online]. Tersedia: http://www.terranet.or.id/tulisandetil.php?id=1781. [8 Maret 2007]


WALHI. (2004).  Mengelola Sampah, Mengelola Gaya Hidup.  [Online]. Tersedia: http://www.walhi.or.id/kampanye/cemar/sampah/peng_sampah_info/  . [8 Maret 2007]

WHO. (2006a).  Waste Management - WHO policy and activities. [Online]. Tersedia: http://www.who.int/immunization_safety/waste_management/update/en/index.html. [8 Maret 2007]

WHO. (2006b). Environmental impact of incineration. [Online]. Tersedia: http://www.who.int/immunization_safety/waste_management/update/en/index5.html. [8 Maret 2007]


Wikipedia. (2007). Sampah. [Online]. Tersedia: http://id.wikipedia.org/wiki/Sampah#Jenis-jenis_sampah. [8 Maret 2007]

http://eskampiun.files.wordpress.com/2011/12/longsor2.gif




Silakan artikelnya didownload di http://id.scribd.com/doc/116189114 atau di http://www.slideshare.net/gitanurul/pengelolaan-sampah


1 komentar:

Unknown mengatakan...

Permisi
Wah bagus ini blognya